“Aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?”
Aku tertawa sendiri mengingat
kejadian-kejadian sewaktu SMP dulu. Ungkapan perasaan dan jawaban yang masih sangat
polos waktu itu. Ya, ‘Aku nggak mau pacaran sebelum lulus SMP’. Kalimat itulah
yang selalu kugunakan setiap kali adacowok yang mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Mungkin itu adalah alasan yang sangat klasik, tapi nyatanya aku bisa memegang pendirian
itu sampai lulus SMP. Bahkan sampai sekarang, saat aku sudah duduk di kelas 2
SMA.
“Raya!” teriak Rani,
teman sekelasku, sambil menghampiriku yang duduk di bangku pojok. Mukanya langsung ditekuk begitu
duduk di kursi sebelahku.
“Kenapa lagi Ran? Ada masalah lagi sama Adit?”
tanyaku menyelidik.
Benar saja seperti dugaanku, Rani memang ada masalah
dengan pacarnya, Adit yang juga sahabatku. Dan seperti biasa, dia selalu meluapkan keluh kesahnya padaku. Aku
memang sering menjadi
tempat curhat bagi teman-ipercintaan dan pacaran. Kadang aku heran, kenapa mereka malah curhat padaku dan tak jarang
mengikuti saran yang kuberikan, padahal aku
sama sekali tak berpengalaman soal cinta apalagi pacaran. Pasalnya, aku sendiri belum pernah mencicipi bagaimana rasanya pacaran.
“Ya, gimana kamu sama Gilang? Dia masih suka ngejar-ngejar
kamu?” tanya Rani mengalihkan pembicaraan.
“Nggak kok, udah nyerah dia.”
“Kamu apain dia? Kok bias sampe nyerah gitu?
Haha.”
“Aku ngomong langsung aja kalo aku nggak suka
dia. Kalo dia masih ngejar-ngejar terus,
aku bakal benci sama dia.”
“Bukannya dulu kamu
bilang mau fokus ke pelajaran aja?”
“Itu sih alasan klasik
Ran. Aku emang nggak suka kok.”
“Gila Ya, itu nyakitin banget tau! Ckck.”
“Yah habisnya aku udah bingung mau nyari
alasan apa lagi.”
***
Malam ini mataku tak bias terpejam, padahal jarum
jam sudah menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Pikiranku tertuju pada Fandy,
cowok yang tiba-tiba menembakku lewat sms
tadi sore. Jelas saja aku langsung menolak, nggak serius banget nembak kok lewat sms. Yah
secara tampang sih dia memang lebih oke disbanding cowok-cowok yang pernah menembakku
sebelumnya, tapi aku belum terlalu mengenalnya. Aku bilang kalau aku
belum diizinin pacaran.
Akujadiingatperkataan temanku Adit
tempo hari, ‘Hati-hati kena karma lho.’. Apa aku akan kena karma karena
kelakuanku ini? Tapi apa salahnya nolak sih? Itu kan hakku, kenapa aku yang
salah?
Aku mengambil buku
harian kecil yang berisi coretan tentang perasaanku. Lembar demi lembar aku buka.
Di sinilah aku menyembunyikan rahasiaku selama ini. Buku ini adalah jawaban
dari alasan-alasan yang aku kemukakan untuk menolak mereka yang ingin menjadi
kekasihku. Di antara banyak alasan yang aku ungkapkan, sejatinya hanya satu
alasan yang menjadi sumber dari alasan itu, yaitu dia.
Dia, yang selama 7 tahun
ini menjadi objek utama tulisan-tulisan di buku harianku. Dia, yang sudah 7
tahun ini aku cintai diam-diam. Dia, yang sudah kukenal lebih dari separuh
usiaku. Dia, sahabat kecilku, cinta pertamaku.
Memang tak ada orang
lain yang tau tentang perasaanku ini, termasuk dia. Aku sendiri juga tak ada
niat untuk mengungkapkannya. Bagiku, bersahabat dengannya saja sudah lebih dari
cukup. Walaupun kadang sakit juga memendam perasaan ini seorang diri terlalu lama.
***
Pagi ini begitu terik,
padahal jam di tanganku masih menunjukkan pukul 06:45. Aku berjalan santai menuju
sekolah begitu turun dari angkot. Tapi tiba-tiba seseorang mengagetkanku dari
belakang.
“Aya!” Suara itu...
Aku menoleh ke belakang.
Ternyata benar dia. Aku segera menyembunyikan rasa gugupku dan tersenyum lebar
ke arahnya.
“Eh Ryan, tumben nggak
bawa motor?” tanyaku.
“Iya nih, motorku lagi
diservice. Tumben berangkat pagi Ya?”
“Jam segini pagi?”.
“Haha iya kan biasanya
kamu telat.” candanya
“Haha iya sih.” Kami pun
berjalan berdampingan sampai sekolah. Tak banyak obrolan yang mengalir, karena
kami berdua sama-sama pendiam.
“Ya udah, aku duluan
ya.” kataku begitu sampai di tangga depan kelas.
“Iya, yo Ya.” Dia pun
kembali berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai 3, persis di atas ruang
kelasku.
“He’em.” jawabku datar.
Aku masuk ke ruang kelas
dengan senyum lebar. Aku senyumi setiap anak yang kulewati. Aku tak bisa lagi
membendung kebahagiaanku, walaupun cuma sebentar bersama dia. Iya, dia Ryan,
cinta pertamaku sekaligus sahabatku sejak kecil.
“Lagi kenapa sih Ya?
Tumben sumringah banget.” selidik Rani begitu aku duduk di sebelahnya.
“Nggak kenapa-kenapa
kok.” jawabku sembari menjulurkan lidah ke arahnya.
“Ih nyebelin, ada apaan
sih? Gitu ya, nggak cerita-cerita.” sungutnya.
Aku mengambil novel yang
kubawa dari rumah dan mulai membaca. Rani yang masih mengoceh tak begitu
kupedulikan. Walaupun mataku menuju ke halaman novel, tapi pikiranku masih
tertuju pada Ryan.
Aku heran, hal
sesederhana itu bisa begitu membahagiakan bagiku. Mungkin karena selama ini
kami sudah jarang berkumpul bersama sahabat-sahabat kecil lainnya.Aku, Ryan, Adit,
Yoga, dan Manda adalah sekelompok sahabat sejak kecil. Kami sudah menjalin persahabatan
sejak masih duduk di bangku TK karena rumah kami memang berdekatan satu sama
lain. Tapi semenjak SMA, kami berlima terpisah sekolah. Hanya aku, Ryan, dan Adit
yang berada di SMA yang sama. Sejak itu, waktu berkumpul kami memang semakin
jarang karena kesibukan masing-masing.
Di antara kami berlima, Ryan
dan akulah yang paling pendiam. Kadang aku menyadari kalau sifat kami berdua
sangat mirip. Mungkin karena itu, tiap berada di dekatnya aku semakin speechless. Kadang aku juga heran kenapa
aku punya perasaan spesial terhadapnya, padahal sahabat laki-lakiku dari kecil
bukan cuma dia, bahkan ada yang lebih dekat daripada dia. Tapi entahlah, rasa
ini seperti tak bisa kujelaskan secara logis.
***
Bel
istirahat pun berbunyi. Aku, Rani, dan Gilang bersama menuju kantin untuk
jajan. Ya, aku dan Gilang memang sudah baikan lagi setelah aku menolaknya tempo
hari.
“Ya
ampun mati gue!”
“Kenapa
Lang?” tanyaku bingung melihat Gilang yang tiba-tiba panik.
“Aku
belum ngerjain tugas Fisika!”
“Yee kirain ada apa,
biasanya juga nggak ngerjain kan?” celetuk Rani.
“Itu dia, kemaren kan
aku udah dimarahin gara-gara nggak ngerjain tugas. Eh Ya, aku minjem bukumu
ya!”
“Ya udah sana, ambil aja
di tas.”
Gilang pun segera berbalik
kembali ke kelas. Sementara aku dan Rani tetap menuju ke kantin.
Kami segera kembali ke
kelas begitu selesai membeli jajanan. Aku memang tak betah berlama-lama di
kantin karena keramaiannya.
“Aya!” seru Gilang
sambil menenteng sebuah buku kecil di tangannya.
Astaga! Itu buku harianku!
Aku segera merebut buku
kecil itu dari tangan Gilang. Tapi tangannya yang lebih kuat dari aku
menjadikan buku itu tak bisa kurebut. Dia langsung menyeretku keluar kelas.
“Sorry Ran, ntar aku
jelasin.” kataku buru-buru. Sementara Rani yang masih heran membiarkan aku dan
Gilang keluar.
Aku diam saja begitu
kami sampai di belakang laboratorium fisika yang sepi. Gilang juga masih
terdiam sambil menatapku, hingga membuat aku tak berani menatap wajahnya
langsung.
“Aya..” panggilnya, kali
ini tak sekeras tadi.
“Hmm?” Aku tak tau harus
berkata apa. Dia pasti sudah tau semuanya tentang perasaanku. Aku hanya
menunduk pasrah.
“Kamu..ternyata..?”
“Iya, kamu udah tau
semuanya kan?”
“Kenapa kamu nggak
cerita? Jadi selama ini kamu nggak pacaran gara-gara dia? Kamu nolak aku juga
gara-gara dia? Tujuh tahun Ya, kamu nyimpen itu sendirian. Kenapa kamu nggak
jujur aja?”
“Jangan! Jangan kasih
tau dia Lang!” sergahku.
“Kenapa Ya? Kalo dia
nggak dikasih tau, dia nggak bakalan sadar tentang perasaanmu. Apa perlu aku yang
ngomong ke dia?”
“Tolong Lang, jangan
kasih tau dia kalo kamu masih nganggep aku sahabatmu!”
“Tapi Ya, aku nggak tega
kamu kayak gini terus. Aku rela kok kalo kamu sama dia, yang penting kamu
bahagia Ya.”
“Ini perasaanku Lang,
kamu nggak usah ikut campur. Aku nggak ingin dia tau tentang perasaanku.
Makasih udah peduli sama aku, tapi tolong hargai aku.”kataku tegas sambil
merebut buku harianku kembali kemudian berlalu meninggalkan Gilang sendirian.
Aku berjalan cepat-cepat
sambil tertunduk menahan air mataku yang hampir jatuh. Jujur aku kecewa curahan
isi hatiku dibaca oleh orang lain tanpa izin.
Aku ingin marah, tapi tak ada gunanya. Sudah tujuh tahun aku
merahasiakan perasaanku, tapi sekarang orang lain sudah mengetahuinya. Rasanya
seperti ditelanjangi. Malu.
Brukk!
Aku menabrak seseorang.
“Ya ampun Aya, sorry
ya.” Suara itu..
“Eh Ryan, nggak pa-pa,
aku yang salah nggak liat jalan.”
“Lho, kenapa Ya? Kamu
abis nangis?”
“Enggak kok.” Aku
buru-buru menghapus air mataku yang ternyata sudah jatuh. Tapi air mata yang
lain rasasnya ingin menyusul begitu dia berada di hadapanku.
“Ada masalah ya? Cerita
aja ayo, udah lama kan nggak cerita bareng. Sapa tau bebanmu jadi berkurang.”
kata Ryan sambil tersenyum menenangkan.
Aku terpaksa
mengikutinya duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari kantin. Sebenarnya aku
bingung, karena alasanku menangis adalah dia. Akhirnya aku mengarang cerita
kalau aku dan Rani sedang ada masalah. Jujur, saat dia mendengarkan ceritaku,
saat dia menenangkanku dan memberi saran padaku, aku tak bisa lagi membendung
air mataku.
Ingin rasanya aku
menangis di bahunya, menumpahkan air mataku di sana, menyerahkan perasaanku
untuk diambilnya kembali. Tapi itu tak mungkin.
Aku masih ingat saat dia
ditanya masalah pacaran oleh Adit waktu kami masih SMP dulu. Dia bilang, dia
nggak akan pacaran sampai nikah nanti. Karena itu, aku ingin menyimpan
perasaanku tanpa diketahuinya. Aku yakin semua pasti indah pada waktunya,
hingga dia menjadi imamku nanti. Ya, semoga saja cinta pertamaku ini menjadi
cinta sejati dan terakhirku.
“Makasih ya Yan.”
“Iya, nyantai aja Ya.
Udah nggak usah nangis lagi.” katanya sambil menepuk pundakku.
Untuk pertama kalinya,
tepukan pundak darinya terasa sampai menepuk hati. Apa dia mendengar suara
hatiku tadi? Jangan-jangan dia tau perasaanku. Entahlah. Tapi aku tak berharap
banyak bisa memilikinya untuk saat ini, aku hanya ingin menunggunya. Bagiku
bersahabat dengannya sudah lebih dari cukup. Biarlah aku menyimpan perasaan itu
sendiri, entah sampai kapan, selama aku masih kuat.
*****
#260611